Ketika Mimpi Jadi Nyata



"Buat perubahan dengan sedikit lebih disiplin dan kerja keras"


Friday, June 17, 2011

aku GA MAU yang merah MA......

Suatu kali saya pergi ke Pasar pagi Asemka Jakarta Pusat untuk membeli tas. Kebetulan waktu saya pergi berbarengan dengan musim kenaikan kelas, sehingga pasar Asemka yang merupakan pusat grosir aneka barang kebutuhan sekolah menjadi lebih ramai dari biasanya.
Sampai disana saya langsung menuju kesalah satu toko tas yang jauh hari sebelumnya saya sudah memesan tas disitu. Begitu saya datang, pegawai di toko  langsung menunjukkan barang yang saya mau, dan setelah saya menyetujuinya mereka langsung menyiapkan untuk saya.
Sambil menunggu tas pesanan saya siap, saya duduk disalah satu kursi yang ada di dalam toko. Tidak berapa lama kemudian datang ke toko tersebut satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua anak lelakinya. Menurut perkiraan saya, anak laki-laki yang pertama duduk di bangku SMP sedangkan adiknya masih sekitar kelas 4 SD. Keluarga ini sepertinya memang sengaja datang ke pasar pagi asemka untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah anak-anak mereka.
Begitu masuk kedalam toko, sang Mama langsung memilih-milih beberapa tas yang menurutnya cocok untuk anaknya yang masih SD. Sampai pilihannya berhenti pada sebuah tas dorong warna merah dengan merk ternama. Melihat Mamanya memegang tas yang dipilihnya, anaknya yang masih SD ini langsung protes.
“Aku tidak mau tas dorong Ma” Kata anak laki-laki tersebut.
“Tapi ini bagus, kamu tidak akan merasa berat membawa buku-buku sekolah, tinggal dorong saja” Mamanya menyanggah keinginan anaknya.
“Ya sudahlah kalau begitu terserah Mama”
“Ni, lihat nih warna merahnya bagus kan?” Mamanya menunjukkan sebuah tas dorong warna merah kepada anaknya.
“Tapi aku ga suka warna merah, bagusan yang hijau ini” Kata anaknya sambil memegang tas sejenis tapi berwarna Hijau.
“Bagusan Merah”
“Mas, saya mau yang warna merah ya” Kata Mamanya kepada pelayan toko, tanpa memperdulikan protes anaknya.
“Nggak mau, warna hijau Mas” Anaknya tidak mau kalah.
Si pelayan tampak kebingungan, mana yang harus dia turuti. Sambil bercanda dia menyarankan supaya mereka beli saja dua-duanya supaya adil.
“Mah, yang hijau juga bagus”  Sang Kakak membela keingingan adiknya.
“Kamu juga, merah ini lebiih bagus. Sudahlah yang merah saja” Mamanya tetap ngotot.
Akhirnya dengan wajah tertunduk anak tersebut berjalan di sudut toko dan tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan mamanya.
Saya nyaris terperangah menyaksikan perdebatan ibu dan anak tersebut. Dan pada akhirnya memang anak tersebut mendapatkan tas berwarna merah sesuai dengan keinginan mamanya.
Saya tidak dapat melupakan apa yang saya saksikan di toko tersebut bahkan sampai saya pulang kerumah. Bagi sebagian orang mungkin apa yang saya lihat adalah hal yang biasa, tetapi bagi saya secara pribadi itu adalah hal yang menyedihkan. Bagaimana tidak senyum bahagia seorang anak harus ditukar dengan sebuah tas berwarna merah keinginan mamanya.
Saya kembali diingatkan dengan sebuah film berjudul “Charlie and the Chocolate Factory” yang pernah saya tonton. Dalam film tersebut diceritakan tentang sosok Willy Wonka yang mengalami masa kecil kurang bahagia bersama dengan ayahnya seorang dokter gigi. Willy Wonka kecil dilarang untuk makan aneka permen dan chocolate yang banyak diminati oleh anak-anak seusianya karena ayahnya takut gigi anaknya akan rusak. Willy juga diharuskan untuk memakai aneka perangkat perawatan gigi yang dipakaikan oleh ayahnya yang membuat penampilannya menjadi aneh dan berbeda dari teman-temannya. Singkat cerita akhirnya Willy Wonka kabur dari rumah dan mendirikan sebuah pabrik coklat yang sangat terkenal pada waktu itu. Namun ditengah kejayaan pabrik coklatnya dia masih menyimpan sebuah kisah pahit bersama sang ayah, dimana akhirnya pengalaman itu membawanya untuk memaksa seorang anak bernama Charlie untuk meninggalkan keluarga dan orangtuanya dan bergabung dengan perusahaan pabrik coklat yang dimiliki Willy Wonka. 
Tanpa bermaksud untuk menggurui, saya ingin mengajak kita semua untuk menarik sebuah pembelajaran dari kedua cerita diatas. Anak bukanlah objek yang dengan seenaknya bisa dijadikan bahan percobaan orang tua. Walaupun  seringkali berkedok alasan untuk kebaikan anak juga. Ketika anak sudah kehilangan haknya untuk menyampaikan pendapat dan keinginannya, secara tidak langsung kita sudah melakukan sebuah pembunuhan karakter si anak. Mungkin, hari ini akibat dari kejadian tersebut belum terlihat secara nyata, tetapi pernahkah terfikirkan oleh para orangtua bahwa hal tersebut memiliki dampak jangka panjang bagi perkembangan mental anak?
Dari cerita tentang tas, apa sih bedanya memiliki tas merah dan tas hijau? Manakah yang sebenarnya membuat orang tua lebih berbahagia? Memiliki tas merah dan anak mengalami kekecewaan, atau melihat anak tersenyum kegirangan dengan tas hijaunya?
Sekarang coba kita bandingkan dengan cerita Willy Wonka, pengalaman masa kecil Willy Wonka yang tidak menyenangkan, membuat dia melakukan hal-hal yang jahat supaya anak-anak tidak bisa menikmati masa kanak-kanaknya dengan bahagia bersama keluarganya. Kejahatan besar yang dilakukan Willy Wonka ketika dia dewasa (walau diakhir cerita dia insaf dan meminta maaf kepada ayahnya), berawal dari pengalaman tidak mengenakkan ketika dia kecil.
Willy Wonka hanya salah satu contoh saja. Kemungkinan masih ada banyak cerita serupa dalam masyarakat yang tidak terekspos.
Sambil menuliskan ini, dalam hati saya berdoa untuk anak yang harus kecewa karena mendapatkan tas berwarna merah, supaya pengalaman berbelanja tas saat itu tidak membawanya kepada sebuah pemahaman yang salah tentang orangtuanya sehingga dia melakukan pengulangan kesalahan yang sama ketika kelak dia memiliki anak. Semoga. (by. Cen-cen)


“jangan tukar senyum ceria anak kita dengan sebuah tas berwarna merah”

1 comment:

  1. Artikel yg bagus,.. Semoga dpt menginspirasi para orang tua :)

    ReplyDelete