Ketika Mimpi Jadi Nyata



"Buat perubahan dengan sedikit lebih disiplin dan kerja keras"


Tuesday, June 21, 2011

DI BALIK KISAH "MIMPI AINI"

Dalam perjalanan saya memberikan pelatihan “Belajar tepat prestasi hebat” di sejumlah kota yang ada di Indonesia, saya selalu menanyakan satu pertanyaan yang sama yaitu “ Apa sih cita-cita setiap peserta pelatihan?”. Mereka memberikan beraneka ragam jawaban kepada saya. Mulai dari ingin menjadi orang terkenal, menjadi pengusaha, guru, insinyur, pemain bola, dan aneka profesi lainnya.
Namun terdapat satu kesamaan yang selalu saya temui dalam setiap pelatihan yaitu cita-cita untuk menjadi seorang dokter. Dan lebih hebatnya lagi cita-cita menjadi seorang dokter bisa dimiliki oleh lebih dari dua orang dari sekitar empat puluh orang peserta pelatihan. Ternyata menjadi dokter menjadi peringkat pertama dari cita-cita anak usia 14-19 tahun yang mengikuti pelatihan saya, entah itu di kota besar maupun didaerah terpencil.
Menjadi seorang dokter memang merupakan sebuah keinginan yang mulia. Rata-rata ketika saya mulai menanyakan alasan menjadi dokter mereka bisa dengan lancar menjawab. Dan walaupun dengan kalimat yang berbeda, namun saya bisa menyimpulkan dalam tiga point alasan keinginan menjadi dokter. Yang pertama, mereka ingin membantu orang lain. Menolong orang yang sedang sakit adalah sebuah tugas yang mulia, apalagi jika yang sakit adalah orang yang kurang mampu. Yang kedua, profesi sebagai dokter dinilai sebagai profesi yang banyak menghasilkan uang. Dan memang itulah fakta yang saat ini kita lihat dilapangan. Status sebagai seorang dokter masih berada di strata tinggi dalam masyarakat Indonesia. Yang terakhir, dengan menjadi dokter bisa mengangkat derajat keluarga. Status sosial keluarga menjadi berubah ketika ada salah satu dari anggota keluarga yang memiliki jabatan sebagai dokter. Hal ini jelas sangat terasa terutama di kota kecil atau di pedesaan.
Namun faktanya, berapa banyak dari mereka yang memiliki cita-cita menjadi dokter bisa mencapai impian mereka. Prosentase yang berhasil mewujudkan cita-citanya sangatlah kecil. Bahkan bisa dikatakan sangat sulit untuk bisa menjadi seorang dokter. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi sebelum akhirnya menyandang gelar sebagai dokter. Dua diantaranya adalah kemampuan financial dan kemampun intelektual. Mari kita melihat secara jujur sisitem pendidikan di bangsa kita. Untuk masuk di fakultas kedokteran, seseorang harus merogoh kantong dengan sangat dalam. Bahkan saya mendengar di kampus tertentu bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk uang masuknya. Yang kedua adalah kemampuan intelektual, dibutuhkan “otak yang sangat encer” untuk bisa mengikuti perkuliahan di fakultas kedokteran. Itulah sebabnya mengapa seleksi masuk fakultas kedokteran terkenal sangat ketat dan susah. Sehingga tidak heran kalau yang bisa mengenyam pendidikan kedokteran adalah mereka yang berhasil mengatasi dua hambatan utama tersebut yaitu hambatan financial dan intelektual. Atau dengan kata lain supaya bisa menjadi dokter harus pintar dan banyak uang. Kalau begitu aturannya, lalu bagaimana dengan mereka dari keluarga sederhana (baca:miskin) yang memiliki cita-cita menjadi seorang dokter? Apakah mereka tidak memiliki hak untuk menjadi dokter?  Rasanya memang pahit dan terkesan tidak adil.
Tetapi itu adalah sebagian dari cerita pahit bagi yang ingin masuk ke fakultas kedokteran. Tetapi cerita pahit tersebut tidak selamanya pahit. Kalau diatas saya menulikan bahwa untuk masuk fakultas kedokteran diperlukan kantong yang sangat tebal, hal tersebut tidak selamanya benar-walaupun banyak benarnya-.
Saya memiliki saudara jauh yang berhasil masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Jawa Timur tanpa uang masuk satu rupiahpun. Apa rahasianya? Dia berhasil lulus tes dengan nilai terbaik, sehingga membuat dia bebas uang masuk. Tapi itu kan susah? Memang benar, tetapi bukan berarti tidak bisa. Saudara saya sudah membuktikan, bahkan sekarang dia sedang mengambil kuliah spesialis.
Nah, kisah “Mimpi Aini” berawal dari cerita diatas. Saya sangat ingin meng “encourage” orang-orang muda yang memiliki impian besar untuk “Catch their dream” . Kemiskinan atau hambatan financial tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk berhenti mengejar impian. Tokoh Aini menunjukkan secara nyata bahwa dia juga manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan. Impiannya untuk menjadi seorang dokter harus berhadapan dengan gunung keterbatasan financial yang harus dilewatinya. Semuanya tidak mudah. Tetapi gunungpun akan terlihat rata ketika kita berada dipuncaknya. Apa artinya itu? Artinya hanya dibutuhkan sebuah keberanian untuk melewati gunung tantangan.
Sekecil apapun peluang, dia tetap peluang. Mari kita buat sebuah sejarah baru dengan berani sedikit lebih kerja keras dan sedikit lebih disiplin dari yang lain. Saya bisa bayangkan, jika dalam duapuluh tahun kedepan dokter-dokter Indonesia sebagian besar berasal dari latar belakang keluarga pra sejahtera, maka bisa dipastikan masalah kesehatan di Indonesia bisa makin ditekan. Kenapa? Karena para dokter tersebut pasti akan memiliki kecenderungan kembali ke komunitas lingkungan awal mereka, (Ingat alasan pertama mengapa anak-anak dalam pelatihan saya bercita-cita menjadi seorang dokter, yaitu, mereka ingin membantu orang lain. Menolong orang yang sedang sakit adalah sebuah tugas yang mulia, apalagi jika yang sakit adalah orang yang kurang mampu). Selamat membaca. (by. Cen-cen)



“Kemiskinan tidak boleh dijadikan alasan untuk berhenti
mengejar impian,
tetapi sebaliknya, mimpilah yang harus merubah kemiskinan”

Friday, June 17, 2011

aku GA MAU yang merah MA......

Suatu kali saya pergi ke Pasar pagi Asemka Jakarta Pusat untuk membeli tas. Kebetulan waktu saya pergi berbarengan dengan musim kenaikan kelas, sehingga pasar Asemka yang merupakan pusat grosir aneka barang kebutuhan sekolah menjadi lebih ramai dari biasanya.
Sampai disana saya langsung menuju kesalah satu toko tas yang jauh hari sebelumnya saya sudah memesan tas disitu. Begitu saya datang, pegawai di toko  langsung menunjukkan barang yang saya mau, dan setelah saya menyetujuinya mereka langsung menyiapkan untuk saya.
Sambil menunggu tas pesanan saya siap, saya duduk disalah satu kursi yang ada di dalam toko. Tidak berapa lama kemudian datang ke toko tersebut satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua anak lelakinya. Menurut perkiraan saya, anak laki-laki yang pertama duduk di bangku SMP sedangkan adiknya masih sekitar kelas 4 SD. Keluarga ini sepertinya memang sengaja datang ke pasar pagi asemka untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah anak-anak mereka.
Begitu masuk kedalam toko, sang Mama langsung memilih-milih beberapa tas yang menurutnya cocok untuk anaknya yang masih SD. Sampai pilihannya berhenti pada sebuah tas dorong warna merah dengan merk ternama. Melihat Mamanya memegang tas yang dipilihnya, anaknya yang masih SD ini langsung protes.
“Aku tidak mau tas dorong Ma” Kata anak laki-laki tersebut.
“Tapi ini bagus, kamu tidak akan merasa berat membawa buku-buku sekolah, tinggal dorong saja” Mamanya menyanggah keinginan anaknya.
“Ya sudahlah kalau begitu terserah Mama”
“Ni, lihat nih warna merahnya bagus kan?” Mamanya menunjukkan sebuah tas dorong warna merah kepada anaknya.
“Tapi aku ga suka warna merah, bagusan yang hijau ini” Kata anaknya sambil memegang tas sejenis tapi berwarna Hijau.
“Bagusan Merah”
“Mas, saya mau yang warna merah ya” Kata Mamanya kepada pelayan toko, tanpa memperdulikan protes anaknya.
“Nggak mau, warna hijau Mas” Anaknya tidak mau kalah.
Si pelayan tampak kebingungan, mana yang harus dia turuti. Sambil bercanda dia menyarankan supaya mereka beli saja dua-duanya supaya adil.
“Mah, yang hijau juga bagus”  Sang Kakak membela keingingan adiknya.
“Kamu juga, merah ini lebiih bagus. Sudahlah yang merah saja” Mamanya tetap ngotot.
Akhirnya dengan wajah tertunduk anak tersebut berjalan di sudut toko dan tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan mamanya.
Saya nyaris terperangah menyaksikan perdebatan ibu dan anak tersebut. Dan pada akhirnya memang anak tersebut mendapatkan tas berwarna merah sesuai dengan keinginan mamanya.
Saya tidak dapat melupakan apa yang saya saksikan di toko tersebut bahkan sampai saya pulang kerumah. Bagi sebagian orang mungkin apa yang saya lihat adalah hal yang biasa, tetapi bagi saya secara pribadi itu adalah hal yang menyedihkan. Bagaimana tidak senyum bahagia seorang anak harus ditukar dengan sebuah tas berwarna merah keinginan mamanya.
Saya kembali diingatkan dengan sebuah film berjudul “Charlie and the Chocolate Factory” yang pernah saya tonton. Dalam film tersebut diceritakan tentang sosok Willy Wonka yang mengalami masa kecil kurang bahagia bersama dengan ayahnya seorang dokter gigi. Willy Wonka kecil dilarang untuk makan aneka permen dan chocolate yang banyak diminati oleh anak-anak seusianya karena ayahnya takut gigi anaknya akan rusak. Willy juga diharuskan untuk memakai aneka perangkat perawatan gigi yang dipakaikan oleh ayahnya yang membuat penampilannya menjadi aneh dan berbeda dari teman-temannya. Singkat cerita akhirnya Willy Wonka kabur dari rumah dan mendirikan sebuah pabrik coklat yang sangat terkenal pada waktu itu. Namun ditengah kejayaan pabrik coklatnya dia masih menyimpan sebuah kisah pahit bersama sang ayah, dimana akhirnya pengalaman itu membawanya untuk memaksa seorang anak bernama Charlie untuk meninggalkan keluarga dan orangtuanya dan bergabung dengan perusahaan pabrik coklat yang dimiliki Willy Wonka. 
Tanpa bermaksud untuk menggurui, saya ingin mengajak kita semua untuk menarik sebuah pembelajaran dari kedua cerita diatas. Anak bukanlah objek yang dengan seenaknya bisa dijadikan bahan percobaan orang tua. Walaupun  seringkali berkedok alasan untuk kebaikan anak juga. Ketika anak sudah kehilangan haknya untuk menyampaikan pendapat dan keinginannya, secara tidak langsung kita sudah melakukan sebuah pembunuhan karakter si anak. Mungkin, hari ini akibat dari kejadian tersebut belum terlihat secara nyata, tetapi pernahkah terfikirkan oleh para orangtua bahwa hal tersebut memiliki dampak jangka panjang bagi perkembangan mental anak?
Dari cerita tentang tas, apa sih bedanya memiliki tas merah dan tas hijau? Manakah yang sebenarnya membuat orang tua lebih berbahagia? Memiliki tas merah dan anak mengalami kekecewaan, atau melihat anak tersenyum kegirangan dengan tas hijaunya?
Sekarang coba kita bandingkan dengan cerita Willy Wonka, pengalaman masa kecil Willy Wonka yang tidak menyenangkan, membuat dia melakukan hal-hal yang jahat supaya anak-anak tidak bisa menikmati masa kanak-kanaknya dengan bahagia bersama keluarganya. Kejahatan besar yang dilakukan Willy Wonka ketika dia dewasa (walau diakhir cerita dia insaf dan meminta maaf kepada ayahnya), berawal dari pengalaman tidak mengenakkan ketika dia kecil.
Willy Wonka hanya salah satu contoh saja. Kemungkinan masih ada banyak cerita serupa dalam masyarakat yang tidak terekspos.
Sambil menuliskan ini, dalam hati saya berdoa untuk anak yang harus kecewa karena mendapatkan tas berwarna merah, supaya pengalaman berbelanja tas saat itu tidak membawanya kepada sebuah pemahaman yang salah tentang orangtuanya sehingga dia melakukan pengulangan kesalahan yang sama ketika kelak dia memiliki anak. Semoga. (by. Cen-cen)


“jangan tukar senyum ceria anak kita dengan sebuah tas berwarna merah”

Friday, June 10, 2011

TEMUKAN TUJUANNYA

Kamu masih ingat nggak waktu kecil, orangtua kamu sering bertanya “ Waduh anak cantik. Kalau sudah besar mau jadi apa sayang, Atau masih ingat nggak papa kamu sring bertanya “ Ayo, anak Papa yang paling  ganteng, kalau sudah besar mau jadi apa?”. Lalu dengan lantang dan penuh percaya diri kamu menjawab, “Mau jadi presiden” , “Mau jadi dokter!”, “Mau jadi artis, Mau jadi spiderman supaya bisa tangkap orang jahat!”
                Dan selalu seperti itu, ketika besar kita bercita-cita menjadi seseorang yang luar biasa. Kita ingin menjadi pahlawan dan mengubah dunia, tapi kemudian saat beranjak dewasa kita mulai berhadapan dengan kesulitan, benturan-benturan, persoalan-persoalan dan juga kegagalan yang datang silih berganti, dan perlahan-lahan mimpi kita meredup dan mati.
                “Apakah mimpi terbesar hidupmu?”. Ketika pertanyaan ini dilontarkan pada saat bukan lagi usia anak-anak sebagian besar dari kita akan bengong dan tidak bisa menjawab apa-apa. Atau beberapa yang lain biasanya menjawab dengan jawaban seperti ini “ Aku ingin terkenal, aku ingin menjadi kaya, aku ingin hidup enak dan punya banyak uang”. Jawaban seperti itu sebenarnya sedang menunjukkan bahwa mereka tidak memeiliki mimpi. Karena kalau sekedar ingin terkenal sih, telanjang bulan saja lari-lari keliling monas sambil teriak-teriak, dijamin kamu akan cepat terkenal. Nah, kalau kamu ingin kaya gampang kok, rampok saja bank, atau jualan narkoba. Cepet kaya kan?.
                Lagian yang disebut terkenal itu seperti apa, yang disebut kaya itu seperti apa? Yang disebut banyak uang itu seperti apa?. Semua punya arti masing-masing yangs etiap orang pasti berbeda. Contohnya seorang pengemis di pinggir jalan akan bilang kami kaya, tetapi Bill Gates mungkin akan bilang kami ini masih miskin. Seorang penjual jamu mungkin akan bilang kami banyak uang, tetapi seseorang Donald Trump bisa jadi berkata kami punya terlalu sedikit uang.
                Dan pertanyaan lain yang lebih penting adalah, KENAPA kamu memiliki mimpi itu? Kenapa kamu ingin menjadi kaya? Kalau sudah banyak uang apa yang ingin kamu lakukan? Peranyaan KENAPA inilah yang harus kamu jawab secara tuntas. Kalau kamu belum tahu pasti kenapa kamu ada di dunia ini, kenapa kamu melakukan ini dan itu maka kamu kan kebingungan menjalani hidupmu. Bagaikan naik mobil tanpa tujuan, kamu akan berputas-putar sampai bensin habis.
                Pada dasarnya segala sesuatu ada, tercipta, dan terjadi selalu ada tujuannya. Kamu nggak bakalan mau sekolah, mau makan, atau mau mandi kalau nggak ada tujuannya. Padahal sih ngapai juga harus makan, ntar juga lapar lagi. Kenapa harus mandi, nanti juga kotor lagi. Tapi karena segala sesuatu itu ada tujuannya, kamu melakukannya.
                Kalau segala sesuatu ada tujuannya, apalagi keberadaan manusia. Nggak mungkin dong Tuhan captain manusia Cuma buat menuh menuhian bumi doing. Ada tujuan yang sangat agung kenapa manusia diciptakan. Sayangnya kebanyakan orang nggak mengerti tujuan hidupnya. Hingga akhirnya kehidupan yang dijalani biasa-biasa saja, tanpa memberikan kontribusi berarti buat diri sendiri apalagi orang  lain.
                Temukanlah tujuan hidupmu selagi kamu masih muda, kalau nggak bisa-bisa kamu akan seperti seorang anak yang terpaku diperempatan jalan. Celinguk kanan kiri, depan-belakang dengan dahi berkerut. Lalu setelah lama ia bertanya pada seorang bapak yang kebetulan lewat tempat itu.
                “Bapak, kemana semua jalan – jalan ini berujung?
                “ Memangnya kamu mau kemana nak? Kamu harus tahu dulu mau kemana baru menanyakan jalan”
                “ Saya tidak tahu saya mau pergi kemana” Jawab anak tersebut.
                “Kalau begitu mudah” Kata Si Bapak.
                “Ambil jalan yang mana saja, kan bagi kamu tidak ada bedanya” Kata si Bapak melanjutkan nasihatnya.

                Kalau kamu tidak tahu tujuan hidupmu, kamu hanya akan meraba-raba. Kalaupun sampai kemungkinan itu bukan tempat yang kamu ingini.