Ketika Mimpi Jadi Nyata



"Buat perubahan dengan sedikit lebih disiplin dan kerja keras"


Wednesday, October 5, 2011

AKU PUNYA HAK


                Anak Perempuan kecil yang malang ini memberitahukan ibunya “ Mama Aku baru saja melukis memakai lipstick Mama”.
Ibunya yang mendengar hal itu lalu melihat lipstick mahal yang baru saja dibelinya telah tinggl setengah dan wajah dan tangan dan baju anak perempuannya telah belepotan dengan lipstick tersebut. Dengan sangat marah, ibu itu mengamuk dan memukuli anak perempuan kecil yang malang tersebut tanpa menghiraukan tangisan dan jeritan dari mulut kecilnya.
Kemudian setelah berhasil melampiaskan emosinya, ibu ini baru sadar kalau anak perempuannya sudah gak bergerak lagi. Iapun mengguncangkan tubuh anaknya smabil menangis dan memohon agar anak perempuannya membuka matanya.
Tapi terlambat, Jantung anak perempuannya itu telah berhenti berdetak. Dan sang Ibu melihat ke sprei tempat tidur anaknya, disitu tertulis sebuah tulisan dengan tinta lipstick merah yang bertulis : “Mama, aku sangat mencintaimu” (By. Hope Harry)

Cerita diatas diambil dari sebuah tautan yang banyak beredar di jejaring sosial facebook beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya kisah diatas tidak ada yang tau. Tetapi terlepas dari benar atau tidaknya cerita, sebenarnya kejadian seperti kisah diatas banyak terdapat di masyarakat sekitar kita. Atau bahkan kita sendiri secara tidak disadari menjadi pelakunya.
Sebagai contoh, dalam kisaran 2-3 tahun yang lalu, media massa banyak mengangkat kisah-kisah menyedihkan seperti dibawah ini :
·         Seorang Ibu di Malang, membunuh 4 orang anaknya lalu bunuh diri
·         Di Semarang, seorang eksodan dari Aceh mencelupkan anaknya ke air mendidih untuk membunuhnya dan berupaya untuk bunuh diri
·         Di Jakarta, seorang ibu bunuh diri bersama 2 anaknya karena ketidaksanggupan menghadapi tekanan hidup karena kemiskinan
                Anak seringkali menjadi obyek atau lebih tepatnya pelampiasan emosi orang dewasa. Bahkan beberapa ibu-ibu secara sadar mengatakan bahwa anak akan menjadi sasaran “omelan” ketika mereka sedang berkonflik dengan suami atau terlibat masalah lain. Betapa hal tersebut bertolak belakang dengan fungsi orang dewasa yang sebenarnya yaitu sebagai pemberi rasa aman dan panutan bagi anak.

SIAPAKAH ANAK?
                Dalam beberapa budaya masyarakat Indonesia anak masih dianggap sebagai pribadi yang tidak dipentingkan bahkan cenderung dilupakan. Terbukti dengan adanya beberapa sebutan yang terkesan menganggap remeh keberadaan anak seperti, anak bawang, anak bau kencur, anak kemarin sore yang biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak memiliki pengalaman dan kemampuan. Lebih ekstrim lagi anak dianggap sebagai milik orang dewasa sehingga mereka seakan tidak memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri.
Meskipun Konvensi Hak Anak (KHA) menyebut devinisi anak adalah manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, seorang pelajar SMP pun sudah mulai enggan disebut sebagai anak-anak lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kata “anak” dalam masyarakat belum mendapatkan penghargaan sebagaimana mestinya.



ANAK PUNYA HAK
Terlepas dari apa dan bagaimana anak, mereka tetaplah pribadi yang memiliki hak dimana hak itu adalah merupakan pengakuan atas martabat yang melekat yang tidak bisa dicabut. Pemahaman tentang hak anak berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar anak yang secara garis besar dikelompokkan menjadi empat hak anak, yaitu :
1.       Hak Kelangsungan Hidup
Salah satu jaminan kelangsungan hidup anak sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang diterimanya. Peran serta dan kepedulian orang dewasa sebagai faKtor penentu dari gizi anak sangatlah penting. Helena Seran Ndolu, seorang ahli nutrisi Unicef Indonesia mengatakan bahwa untuk mengurangi dan mengantisipasi gizi buruk anak, metode yang digunaka tidak hanya dengan penyuluhan tetapi perlu pendampingan sejak kehamilan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ASI eksklusif 0-6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI.
2.       Hak Tumbuh Kembang
Ini adalah hak dimana anak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam membangun mental kepercayaan diri di lingkungannya. Menerima pendidikan baik formal maupun nonformal adalah salah satu hak anak dalam hal ini.
3.       Hak Partisipasi
Anak berhak  mendapatkan kesempatan untuk dapat mengemukakan pendapat serta bebas untuk berekspresi sesuai kemampuan yang dimilikinya tanpa batas.
4.       Hak Perlindungan
Hak ini adalah hak utama yang dikumandangkan oleh penganjur Deklarasi Hak Anak pada tahun 1924. Hak ini muncul mengingat anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena kondisinya yang rentan, tergantung dn berkembang, anak -dibandingkan dengan orang dewasa- lebih beresiko terhadap tindak eksploitasi, kekerasan (Fisik, Seksual, psikologis), penelantaran,dll.

                Orang dewasa adalah pemangku kewajiban untuk terpenuhinya keempat hak dasar anak tersebut. Namun karena kurangnya pemahaman yang benar tentang hak anak, maka orang dewasa juga cenderung menjadi pelaku pelanggaran hak anak. Dengan jejaring dan kerjasama yang baik antar berbagai pihak terkait, marilah kita bersama mewujudkan serta menolong terjadinya pemenuhan hak-hak anak tersebut, sehingga kasus kekerasan seperti yang ada di awal tulisan ini tidak akan terulang lagi. Stop Kekerasan Pada Anak. (BY.cen-cen)